Hari itu saya sengaja mengajak seseorang
untuk menemani saya makan siang. Bukan, mungkin lebih tepatnya makan sore,
karena jam sudah melewati pukul 15.00. Ini sering sekali saya lakukan ketika
saya merasakan kebosanan, bercerita, sharing atau diskusi sambil menikmati
hidangan adalah salah satu cara menghilangkan kemalasan dan kebosanan.
Adalah minggu-minggu perjuangan, bagaimana
saya mempertaruhkan integritas saya sebagai mahasiswa. ‘mencontek’ adalah hal
yang akan membuat saya malu, bukan hanya kepada teman-teman dan orangtua saya,
namun juga pada anak cucu saya (Aiiih…pikiranyaaa….hahah)
Sangat wajar, jika saya merasa lelah dan menginginkan
untuk tidak melakukan apa-apa dan untuk tidak berfikir yang terlalu berat
–baca: ingin refreshing :)
Kali ini saya membiarkan teman saya yang
banyak berkata-kata dan bercerita, dan giliran saya yang harus banyak
mendengarkan, menjadi pendengar yang baik.
Ia mengawali ceritanya dengan sedikit
mengeluh, mengomentari keadaan teman-teman kelasnya yang banyak merepotkan
dirinya. Yang datang kepadanya hanya ketika membutuhkan bantuanya, tak hanya
sekali dua kali, dan tak juga seorang dua orang. Seperti tak ingin berusaha dan
selalu mengandalkan orang lain. “mau jadi apa nantinya kalo selalu mengandalkan
orang lain?” begitu tuturnya di akhir cerita.
Saya hanya tersenyum, mengamini setiap kata
yang ia tuturkan. Sembari menyeruput es teh yang beberapa menit lalu saya
pesan. Sejenak mengela napas panjang. Ingin menanggapi, namun lidah ini sudah terlalu
lama kelu, hari itu saya benar-benar lelah dengan rutinitas kampus yang sedikit
banyak memaksa saya agar tetap memiliki eksistensi ketika mereka meminta saya
untuk ada.
Sekali lagi saya hanya tersenyum. Namun
akhirnya saya pun angkat bicara, memecah sunyi dan memberikan apresiasi padanya
atas apa yang ia ceritakan. Sejenak saya berkontemplasi dan berkonklusi, ada tiga
hal yang saya coba untuk menjabarkannya.