Sunday, July 28, 2013

Tentang Fitrah

Barangkali cerita ini sering mampir di telinga kita, mampir saja sudah cukup dari pada tidak sama sekali.
Terik mengganas, menjilat-jilat manusia dan apa saja yang ada di bumi, yang dijilat merasa geli, berlali manja mencari perlindungan yang sejuk, rumah. Sebaliknya tak seperti bocah yang belum genap sewindu usianya. Bocah itu justru berada di luar maqom perlindungannya, berkeliing mengitari halaman rumah, wajahnya lusuh, sesekali ia meghela napas panjang, mengingat-ingat apa yang baru saja ia kerjakan, sedang mencari sesuatu rupanya, kunci sepeda kesayanganya hilang, peluhnya tak hanya di dahi, matari kala itu benar-benar mengeluarkan energi yang besar untuk menghisap apa-apa yang mengandung air, menerbangkanya ke awan, dan dijatuhkanya lagi menjadi hujan.
Pamanya datang menyapa dari rumah sebelah, menanyakan apa yang sedang dilakukan keponakannya di depan rumah.
“Sedang apa kamu, Nang?”
“Mencari kunci pak dhe.”
“Hilang dimana memangnya?”
“Di dalam rumah pak dhe.” bola matanya masih saja menari.
Mendengar jawaban tersebut si paman menampakkan ekspresi kebingungan, kepalanya yang tidak gatal ia garuk, mungkin memang begitu ekspresi kebingungan manusia.
“Kenapa nyari di luar rumah Nang?”
“Di luar lebih terang pak dhe.”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
                Menggelitik agaknya, namun sarat makna. Muncul pertanyaan yang kemudian menjadi dilematik. Apa yang sebenarnya dicari? Pencerahan atau hanya kunci sepedanya yang hilang di dalam rumah?       Untuk apa kemudian si bocah susah payah mencari kunci yang nyara-nyata hilang di dalam rumahnya sendiri?
                Barangkali ini yang disebut dengan manusia dan fitrahnya yang cenderung memilih jalan cahaya yang terang, ini perncerahan. Sedang kunci yang di dalam rumah sana sejatinya bukan menjadi hal yang perlu dipermasalahkan eksistensi dan esensinya. Kendatipun si bocah mencari dan terus mencari kuncinya di dalam rumah yang gelap, ia pun tak akan mendapati kunci yang diingini. Bagaimana mungkin yang tidak memiliki cahaya [kegelapan] dapat memberi cahaya? Untuknya, cahaya merupakan kebutuhan, pencarian kepada cahaya adalah fitrah. Itu saja.



Friday, June 14, 2013

Gendhing, yang Dirindu

Aku bingung harus memulai darimana tulisanku ini, terlalu banyak yang ingin kuungkapkan karena masalah dan fikiran yang kian mejemuk dan heterogen, hingga membuatku sedikit kualahan bagaimana mengakomodasi diriku sendiri. Tak ada tendensi apapun dalam tulisanku ini, sekedar mengekspresikan apa yang aku rasakan sekarang dan beberapa bulan belakangan dalam alunan proses panjang bernama ‘teater’.
Gendings's Drama Performance
Mungkin ada baiknya aku memulai dari kali pertama aku duduk di semester 6 ini. Adalah mata kuliah bernama Drama seharga 2 SKS, wajib untuk diambil, dan melibatkan kerja tim. Teori yang sekedar formalitas, sedikit sekali membuka cakrawala apa itu teater dan untuk apa harus melakukanya. Esensi yang sebenarnya harus diberikan di awal sebagai landasan berfikir belum dapat tersampaikan secara komprehensif kepada mahasiswa.
Dan... lupakan tentang teori formalitas dalam perkuliahan tak beraturan itu, tak suka sama sekali aku masuk kelas teori yang membosankan dan membuat jenuh juga mengikis cita rasa teater, tentu akan lebih menarik jika aku bercerita tentang proses, tentang bagaimana teater dan jiwa dari teater itu sendiri.
Sore itu rapat konsepsi dimulai, penentuan panitia kecil, berapa dana yang harus menjadi iuran wajib dan kas, siapa pelatih, kapan latihan, dibawa ke genre apa teater ini, hampir-hampir semua dibahas dalam rapat sore itu, juga tentang punishment yang harus dibayar bagi individu yang membelot. Sekawanan itu kemudian menyebut dirinya Gendhing. Rapat ini adalah embrio dari teater yang kemudian akan begitu kami rindukan.

Friday, March 1, 2013

Inggit Garnasih


Akhir-akhir ini saya benar-benar tak aktif untuk menuangkan gagasan saya dalam kata-kata, curhat lebih tepatnya. Fokus benar pada karya tulis yang satu itu, hingga lupa bagaimana cara tidur dengan baik. Tapi tak apalah, saya bahagia dengan apa yang saya usahakan selama ini.
Well, malem ini kita akan melirik satu tokoh perempuan yang saya anggap sangat berjasa sekali, tak hanya untuk orang-orang terdekatnya, tapi juga untuk negeri kita ini, Indonesia.
Namanya Inggit Garnasih, asing kah terdengar di dua telinga kita? Atau dua mata kita? Jangan-jangan memang guru SD kita tak pernah membahasnya ketika kita dulu belajar sejarah?
Perkenalan dengannya, ketika beberapa bulan lalu saya tak sengaja berdiskusi di kafe kecil depan kampus. Menyinggung sedikit masalah Soekarno, kemerdekaan, Rengas Dengklok, Penjajah, Belanda, dan pada akhirnya jatuh pada titik poin itu, INGGIT GARNASIH.

Saturday, January 12, 2013

CINTA...Aku Bangkit...!!!

Setidaknya aku sudah menapak bumi sekarang. Biar masih tetap teringat begaimana cinta membuatku terbang setinggi-tingginya kemudian menjatuhkanku sejatuh-jatuhnya, sakit. Awalnya memang perih, tapi syukurlah, hanya di awal saja, tak hingga berlarut-larut. Menangispun tidak ingin kulakukan, karena memang tak ada yang pantas untuk ditangisi. Menyesal juga tidak, kerena seharusnya apa yang dirasa sekarang harus benar-benar disyukuri. Disyukuri karena aku tersadar sekarang, bukan nanti. Disyukuri karena baru setengah hati yang sakit, bukan utuh semuanya.

Thursday, January 10, 2013

Tuhan Tak Ingin Dimadu...

TUHAN TAK INGIN DIMADU, Begitu yang saya tangkap dari pembicaraan ngalor-ngidul dengan beberapa teman di sebuah kafe mini depan kampus. Akhir-akhir ini saya senang sekali dengan hobi yang satu ini, nongkrong. Kopi, jus, atau soft drink, sembari cemal-cemil dengan cemilan yang nyumi :D. Bertema sepi, hujan, namun hangat karena tawa. Biar ngobrol tak karuan arah, saya cukup menikmati hobi baru saya ini. Banyak pengetahuan baru, pemikiran, dan pemahaman baru yang selalu saya tangkap dari setiap mulut dan kepala.
Nongkrong bukan sekedar nongkrong, karena banyak referensi yang kami bicarakan, seperti filsafat ilmu pengetahuan, hermeneutics, sejarah Tuhan, dan masih banyak lagi hal-hal yang mungkin tak akan saya temui di tempat lain. dan Tuhan yang menjadi salah satu pembicaraan kami sore itu.
Agaknya memang tabu jika kita berbicara tentang Tuhan, ketika menulis inipun saya merasakan hal yang sama, seperti lancang dan tak sopan. Namun saya beranikan untuk menuliskannya.
Bismillah...