TUHAN TAK INGIN
DIMADU, Begitu yang saya tangkap dari pembicaraan ngalor-ngidul dengan
beberapa teman di sebuah kafe mini depan kampus. Akhir-akhir ini saya senang
sekali dengan hobi yang satu ini, nongkrong. Kopi, jus, atau soft drink,
sembari cemal-cemil dengan cemilan yang nyumi :D. Bertema sepi, hujan, namun
hangat karena tawa. Biar ngobrol tak karuan arah, saya cukup menikmati hobi
baru saya ini. Banyak pengetahuan baru, pemikiran, dan pemahaman baru yang
selalu saya tangkap dari setiap mulut dan kepala.
Nongkrong bukan
sekedar nongkrong, karena banyak referensi yang kami bicarakan, seperti
filsafat ilmu pengetahuan, hermeneutics, sejarah Tuhan, dan masih banyak lagi
hal-hal yang mungkin tak akan saya temui di tempat lain. dan Tuhan yang menjadi
salah satu pembicaraan kami sore itu.
Agaknya memang tabu
jika kita berbicara tentang Tuhan, ketika menulis inipun saya merasakan hal
yang sama, seperti lancang dan tak sopan. Namun saya beranikan untuk
menuliskannya.
Bismillah...
Sore itu
gerimis-gerimis kecil turun, sebentar-sebentar hujan dengan intensitas kecil
menyerbu bumi, menyemarakkan. Tak sadar dan tak terasa pembicaraan kami
menyinggung tentang Tuhan didalamnya.
Semua yang
melingkari meja segi empat adalah
muslim, alangkah baiknya jika terminologi Tuhan saya ganti dengan Allah.
Sebelumnya kami
membahas percintaan segi-tiga antara Soekarno, Inggit, dan Fatma. Inggit yang
tak ingin Soekarno menikahi Fatma karena sudah manganggap Fatma seperti anak
kandungnya sendiri, yang kemudian mengantarkan Soekarno dan Inggit untuk
bercerai pada 1942. Adanya perceraian tersebut bukan berarti Inggit tak ingin
dipoligami (Cerita selengkapnya akan di filmkan dengan judul Tjinta Fatma,
Agustus 2013 mendatang).
Berbicara tentang
poligami, tak menyangka pertanyaan saya terhadap mereka (para laki-laki yang
juga turut dalam obrolan sore itu) menjadi obrolan yang menarik.
“Pendapat kalian
tentang poligami gimana mas? Apakah ingin berpoligami? Ayatnya kan sudah jelas
mas, asalkan niat, akad, dan syaratnya terpenuhi, why not?” kelakar saya sore itu.
Satu diantara
mereka berbalik tanya.
“Kamu mau ga
dipoligami?”
Saya, yang ditanya
hanya diam saja.
“Dosa apa yang
tidak diampuni oleh Allah?” Satu yang berkacamata bertanya.
Kujawab, “Syirik
mas”
“Nama lainnya,
selain syirik”
“Percaya selain
Allah?”
“Lainnya atuh?”
“Menduakan Allah
mas”
“Nah itu tahu,
Allah saja tidak mau diduakan, apalagi kita manusia yang lemah”
Sulit untuk
menginterpretasikan air muka saya saat itu, bingung.
***
Malamnya,
saya sejenak berkontemplasi. Perkara kontemplasi ini memang sering sekali saya
lakukan setelah mendapat pengetahuan baru yang mangganjal di hati maupun yang
membuat saya penasaran dan ingin mengkaji lebih dalam tentangnya.
Dan
perenungan ini engantarkan saya pada sebuah konklusi berikut ini. Jika kita
menganalogikan hidup dengan mampir ngombe, orang berilmu dengan padi, atau
kehidupan dengan roda yang berputar, adalah hal yang dapat diterima oleh berbagai
norma di dunia karena kedua hal tersebut memiliki nilai filosofis yang sama.
Namun, menyamakan Allah dengan Manusia? Terlalu berani agaknya, selamanya Allah
tidak akan pernah dapat disamanakan dengan manusia. Menganalogikannyapun adalah
kesalahan. Itu yang dapat saya simpulkan berdasarkan firmanNya Al-Ikhlas: 4
“...dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”
Ada beberapa hal yang
tak boleh kita katakan atau tanyakan karena akan menjerumuskan kita pada kekafiran
dan penisbian Allah. Seperti “Allah itu sepeti siapa? Ada dimana? Punya anak?
Keturunan siapa?”. Biarpun sebenarnya beberapa pertanyaan tersebut telah
dijawab oleh Allah dalam FirmanNYA.
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.” (Al-Baqoroh: 186)
“Katakanlah:
"Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas:
1-4)
Namun
kenapa pada akhirnya pemikiran kita yang libeal selalu merongrong hati dan
keyakinan. Ituah kita, yang membanggakan logika dan akal. Kegenitan intelektual
yang berlebihan hingga ranah Allahpun di ambil alih. Saya rasa iman dan
keyakinan tidak pernah bisa dikaji dengan logika maupun akal, itu saja.
No comments:
Post a Comment