Thursday, January 10, 2013

Tuhan Tak Ingin Dimadu...

TUHAN TAK INGIN DIMADU, Begitu yang saya tangkap dari pembicaraan ngalor-ngidul dengan beberapa teman di sebuah kafe mini depan kampus. Akhir-akhir ini saya senang sekali dengan hobi yang satu ini, nongkrong. Kopi, jus, atau soft drink, sembari cemal-cemil dengan cemilan yang nyumi :D. Bertema sepi, hujan, namun hangat karena tawa. Biar ngobrol tak karuan arah, saya cukup menikmati hobi baru saya ini. Banyak pengetahuan baru, pemikiran, dan pemahaman baru yang selalu saya tangkap dari setiap mulut dan kepala.
Nongkrong bukan sekedar nongkrong, karena banyak referensi yang kami bicarakan, seperti filsafat ilmu pengetahuan, hermeneutics, sejarah Tuhan, dan masih banyak lagi hal-hal yang mungkin tak akan saya temui di tempat lain. dan Tuhan yang menjadi salah satu pembicaraan kami sore itu.
Agaknya memang tabu jika kita berbicara tentang Tuhan, ketika menulis inipun saya merasakan hal yang sama, seperti lancang dan tak sopan. Namun saya beranikan untuk menuliskannya.
Bismillah...

Sore itu gerimis-gerimis kecil turun, sebentar-sebentar hujan dengan intensitas kecil menyerbu bumi, menyemarakkan. Tak sadar dan tak terasa pembicaraan kami menyinggung tentang Tuhan didalamnya.
Semua yang melingkari meja segi empat adalah  muslim, alangkah baiknya jika terminologi Tuhan saya ganti dengan Allah.
Sebelumnya kami membahas percintaan segi-tiga antara Soekarno, Inggit, dan Fatma. Inggit yang tak ingin Soekarno menikahi Fatma karena sudah manganggap Fatma seperti anak kandungnya sendiri, yang kemudian mengantarkan Soekarno dan Inggit untuk bercerai pada 1942. Adanya perceraian tersebut bukan berarti Inggit tak ingin dipoligami (Cerita selengkapnya akan di filmkan dengan judul Tjinta Fatma, Agustus 2013 mendatang).
Berbicara tentang poligami, tak menyangka pertanyaan saya terhadap mereka (para laki-laki yang juga turut dalam obrolan sore itu) menjadi obrolan yang menarik.
“Pendapat kalian tentang poligami gimana mas? Apakah ingin berpoligami? Ayatnya kan sudah jelas mas, asalkan niat, akad, dan syaratnya terpenuhi, why not?” kelakar saya sore itu.
Satu diantara mereka berbalik tanya.
“Kamu mau ga dipoligami?”
Saya, yang ditanya hanya diam saja.
“Dosa apa yang tidak diampuni oleh Allah?” Satu yang berkacamata bertanya.
Kujawab, “Syirik mas”
“Nama lainnya, selain syirik”
“Percaya selain Allah?”
“Lainnya atuh?”
“Menduakan Allah mas”
“Nah itu tahu, Allah saja tidak mau diduakan, apalagi kita manusia yang lemah”
Sulit untuk menginterpretasikan air muka saya saat itu, bingung.
***
       Malamnya, saya sejenak berkontemplasi. Perkara kontemplasi ini memang sering sekali saya lakukan setelah mendapat pengetahuan baru yang mangganjal di hati maupun yang membuat saya penasaran dan ingin mengkaji lebih dalam tentangnya.
       Dan perenungan ini engantarkan saya pada sebuah konklusi berikut ini. Jika kita menganalogikan hidup dengan mampir ngombe, orang berilmu dengan padi, atau kehidupan dengan roda yang berputar, adalah hal yang dapat diterima oleh berbagai norma di dunia karena kedua hal tersebut memiliki nilai filosofis yang sama. Namun, menyamakan Allah dengan Manusia? Terlalu berani agaknya, selamanya Allah tidak akan pernah dapat disamanakan dengan manusia. Menganalogikannyapun adalah kesalahan. Itu yang dapat saya simpulkan berdasarkan firmanNya Al-Ikhlas: 4
       “...dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia
Ada beberapa hal yang tak boleh kita katakan atau tanyakan karena akan menjerumuskan kita pada kekafiran dan penisbian Allah. Seperti “Allah itu sepeti siapa? Ada dimana? Punya anak? Keturunan siapa?”. Biarpun sebenarnya beberapa pertanyaan tersebut telah dijawab oleh Allah dalam FirmanNYA.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqoroh: 186)
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas: 1-4)
       Namun kenapa pada akhirnya pemikiran kita yang libeal selalu merongrong hati dan keyakinan. Ituah kita, yang membanggakan logika dan akal. Kegenitan intelektual yang berlebihan hingga ranah Allahpun di ambil alih. Saya rasa iman dan keyakinan tidak pernah bisa dikaji dengan logika maupun akal, itu saja.

No comments:

Post a Comment